Mata Awan dan Guntur memerah, entah karena tangis yang berusaha mereka sembunyikan satu sama lain, ataukah karena sebuah rasa lega atas lepasnya sebuah kemarahan yang membabibuta. Sesekali mereka bertemu pandang, pandangan mereka menggambarkan sebuah rasa penyesalan yang sangat dalam, meskipun masing-masing dari mereka ada sebuah rasa lega atas lepasnya kemarahan itu.
Awan meringkuk di pangkuan Guntur, tiba-tiba terlintas bayang-bayang Mentari di dalam benaknya. Begitu juga dengan Guntur, kenangan Guntur bersama Mentari seakan-akan seperti sebuah kilas balik dari sebuah film.
“kamu menyesal?” bisik Guntur lembut di telinga Awan
“tidak.” Kata Awan, yang sebenarnya menyakinkan dirinya sendiri untuk tidak merasa menyesal.
Lalu Awan bangun dan menyandarkan kepalanya ke pundak Guntur, dan Guntur pun mengusap-usap kepala Awan dengan penuh kelembutan. Kesunyian pun mulai menyusup, tak satu pun dari mereka angkat bicara, mereka tenggelam oleh perasaan mereka masing-masing.
Kali ini senyum Mentari, tawa Mentari, belaian Mentari tidak hanya membayangi pikiran Awan, tetapi lebih nyata menghantui perasaan Awan, yang menyelinap dan membuat Awan menjadi sangat yakin bahwa sebenarnya Awan menyesal.
Begitu pula dengan Guntur, dia mencoba menengadah ke atas agar air matanya tidak mengalir. Kenangannya bersama Mentari begitu banyak, sehingga membuat hatinya merasa sakit sekali. rasa sakit itu seakan-akan berkata “kamu tidak bisa melupakan Mentari.”
“kok diam?” kata Awan menatap Guntur
“kamu sendiri kenapa diam?” kata Guntur berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Awan tak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya.
“kamu masih mencintai Mentari?” Tanya Guntur memeluk tubuh Awan
“tidak.” Kata Awan, yang sebenarnya memaksakan dirinya untuk tidak mencintai Mentari.
“kalo kamu?” Tanya Awan
“kan udah sama kamu.” Kata Guntur menyangkal.
Setiap pertanyaan yang mereka tanyakan dan setiap jawaban yang mereka katakan tak lebih dari sebuah penyangkalan besar. Awan dan Guntur masih mencintai Mentari, walaupun Awan dan Guntur juga saling mencintai.
Selain rasa penyesalan dan rasa lega atas terlampiaskan rasa marah, ada sebuah rasa cemburu di dalam hati Awan dan Guntur. Awan cemburu kepada Guntur, Guntur cemburu kepada Awan, dan Awan serta Guntur cemburu pada Mentari.
Awan sebal, saat Mentari menghabiskan malam bersama Guntur, karena Awan juga ingin tidur bersama Mentari, meskipun Awan juga ingin tidur bersama Guntur.
Guntur jengkel, saat Mentari menghabiskan waktu bersama Awan, karena Guntur juga ingin menghabiskan waktu bersama Mentari, walaupun Guntur juga ingin menghabiskan waktu bersama Awan.
Mentari tidak bisa memilih untuk mencintai Awan atau Guntur, Awan tidak bisa memilih untuk bersama Mentari atau Guntur, begitu pula Guntur, ia juga tidak bisa memilih untuk menyayangi Awan atau Mentari. Itulah sebabnya Awan dan Guntur marah besar, entah marah kepada keadaan atau marah kepada perasaan mereka masing-masing.
“apakah kamu menyesal telah bersamaku?” Tanya Awan
“kamu?” Tanya Guntur balik
“tidak.” Kata Awan singkat
“kalo gitu aku juga tidak, aku tidak menyesal bersamamu.” Jawab Guntur
“kamu….kamu menyesal kita telah membunuh mentari?” Tanya Awan lirih
“kamu?” Tanya Guntur balik
“iya.” Kata Awan
“aku pun menyesal,” kata Guntur lirih. Kali ini Awan maupun Guntur menjawab dengan jujur.
Awan meringkuk di pangkuan Guntur, tiba-tiba terlintas bayang-bayang Mentari di dalam benaknya. Begitu juga dengan Guntur, kenangan Guntur bersama Mentari seakan-akan seperti sebuah kilas balik dari sebuah film.
“kamu menyesal?” bisik Guntur lembut di telinga Awan
“tidak.” Kata Awan, yang sebenarnya menyakinkan dirinya sendiri untuk tidak merasa menyesal.
Lalu Awan bangun dan menyandarkan kepalanya ke pundak Guntur, dan Guntur pun mengusap-usap kepala Awan dengan penuh kelembutan. Kesunyian pun mulai menyusup, tak satu pun dari mereka angkat bicara, mereka tenggelam oleh perasaan mereka masing-masing.
Kali ini senyum Mentari, tawa Mentari, belaian Mentari tidak hanya membayangi pikiran Awan, tetapi lebih nyata menghantui perasaan Awan, yang menyelinap dan membuat Awan menjadi sangat yakin bahwa sebenarnya Awan menyesal.
Begitu pula dengan Guntur, dia mencoba menengadah ke atas agar air matanya tidak mengalir. Kenangannya bersama Mentari begitu banyak, sehingga membuat hatinya merasa sakit sekali. rasa sakit itu seakan-akan berkata “kamu tidak bisa melupakan Mentari.”
“kok diam?” kata Awan menatap Guntur
“kamu sendiri kenapa diam?” kata Guntur berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Awan tak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya.
“kamu masih mencintai Mentari?” Tanya Guntur memeluk tubuh Awan
“tidak.” Kata Awan, yang sebenarnya memaksakan dirinya untuk tidak mencintai Mentari.
“kalo kamu?” Tanya Awan
“kan udah sama kamu.” Kata Guntur menyangkal.
Setiap pertanyaan yang mereka tanyakan dan setiap jawaban yang mereka katakan tak lebih dari sebuah penyangkalan besar. Awan dan Guntur masih mencintai Mentari, walaupun Awan dan Guntur juga saling mencintai.
Selain rasa penyesalan dan rasa lega atas terlampiaskan rasa marah, ada sebuah rasa cemburu di dalam hati Awan dan Guntur. Awan cemburu kepada Guntur, Guntur cemburu kepada Awan, dan Awan serta Guntur cemburu pada Mentari.
Awan sebal, saat Mentari menghabiskan malam bersama Guntur, karena Awan juga ingin tidur bersama Mentari, meskipun Awan juga ingin tidur bersama Guntur.
Guntur jengkel, saat Mentari menghabiskan waktu bersama Awan, karena Guntur juga ingin menghabiskan waktu bersama Mentari, walaupun Guntur juga ingin menghabiskan waktu bersama Awan.
Mentari tidak bisa memilih untuk mencintai Awan atau Guntur, Awan tidak bisa memilih untuk bersama Mentari atau Guntur, begitu pula Guntur, ia juga tidak bisa memilih untuk menyayangi Awan atau Mentari. Itulah sebabnya Awan dan Guntur marah besar, entah marah kepada keadaan atau marah kepada perasaan mereka masing-masing.
“apakah kamu menyesal telah bersamaku?” Tanya Awan
“kamu?” Tanya Guntur balik
“tidak.” Kata Awan singkat
“kalo gitu aku juga tidak, aku tidak menyesal bersamamu.” Jawab Guntur
“kamu….kamu menyesal kita telah membunuh mentari?” Tanya Awan lirih
“kamu?” Tanya Guntur balik
“iya.” Kata Awan
“aku pun menyesal,” kata Guntur lirih. Kali ini Awan maupun Guntur menjawab dengan jujur.