Tuesday, July 21, 2009

Atas nama pengkhianatan cinta

Malam yang sunyi ini adalah tempat persembunyianku dari gemuruh gaduh perasaan di hatiku. Aku duduk termenung di sofa, mataku memandang kosong ruang tamu yang gelap ini, darah segar menetes-netes dari pisau dapur yang sedang aku genggam sekarang. Genggamanku begitu kuat, sama kuatnya dengan rasa resah dan gelisah di dalam hatiku. Di hadapanku terlihat suamiku Andi terkulai lemah tak sadarkan diri, begitu lemah karena darahnya berrebutan menyembur keluar dari jantungnya. Aku menungguinya, menungguinya tanpa ekspresi apapun di wajahku. Bukan untuk menunggunya sadar tapi menunggu jiwanya lepas dari tubuh busuknya. Bau anyir darahnya membuatku terdiam menyaksikan jiwanya terlepas. Tak ada alasan bagiku untuk menangisi jiwanya, tak ada alasan bagiku untuk tersenyum pula menyambut jiwanya yang terlepas. Pikiranku kosong, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, aku pun tidak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang, apakah aku harus sedih atau apakah aku harus gembira.
Detak jarum jam tua yang terletak di antara aku dan Andi berbunyi semakin keras, seakan-akan berusaha menyadarkanku dari pikiran kosongku ini. Dan aku rasa jam itu tidak berhasil menyadarkanku. Di rumah ini, di ruang tamu ini adalah saksi pembunuhanku terhadap suamiku dengan atas nama pengkhianatan cinta. Terlintas di pikiranku, saat aku melihatnya bercengkrama dengan sekretarisnya di kamar mandi rumah ini. Tubuhnya yang kekar tanpa memakai pakaian sibuk menindih wanita bertubuh molek itu di bath up. Aku tidak berusaha untuk memergokinya yang sedang bercinta dengan sekretarisnya di rumahku sendiri, di kamar mandi tempat yang sama saat aku bercinta dengan suamiku pada bulan-bulan pertama kami menikah. Nafas wanita jahanam yang terburu oleh nafsu itu membuatku makin menciut untuk memergoki mereka. Aku hanya bisa mengintip mereka dari celah pintu kamar mandi yang sengaja tidak mereka tutup. Aku buru-buru pergi sebelum mereka selesai bercinta. Aku tidak ingin mereka mengetahui keberadaanku. Aneh perasaanku waktu itu, aku tidak merasakan suatu rasa marah dan cemburu yang meluap-luap melihat mereka bercinta. Mungkin itu sebabnya aku tidak ingin memergoki mereka.
Tiba-tiba terdengar suara guntur yang mendukung suara detak jarum jam untuk menyadarkanku. Tapi percuma saja, gemuruh gaduh perasaanku mengalahkan suara guntur dan suara detak jarum jam. Aku memandang tubuh suamiku yang sudah terkulai lemas dengan wajah yang pucat penuh kengerian. Terlintas di pikiranku, peristiwa di sabtu malam, saat aku sedang bercinta dengan suamiku. Kami bercengkama, kami saling membalas dengan penuh nafsu sampai akhirnya waktu mencapai klimaks dia menyebut nama sekretarisnya. Tetapi anehnya kenapa saat dia menyebut nama sekretarisnya itu, aku sama sekali tidak kehilangan nafsu untuk bercinta dengannya.
Hujan mulai turun semakin deras, malam tak lagi sunyi karena gaduhnya suara hujan, guntur dan detak jarum jam. Malam menjadi gaduh seperti hatiku yang sedang gaduh dengan perasaan-perasaanku. Semua kenangan buruk terdahulu terlintas secara berturut-turut di pikiranku. Aku teringat saat suamiku mengajakku makan malam di restoran mahal dengan alunan musik klasik. Aku kira saat itu dia sedang berusaha meminta maaf kepadaku karena telah selingkuh. Yang sebenarnya sih aku tidak berharap sedikit pun dia meminta maaf kepadaku. Dia memesankan makanan kesukaanku, dan dia berusaha bersikap ramah kepadaku, meski terlihat sangat dibuat-buat. Dia menatapku lama saat itu, dia berusaha mencari simpatiku lewat jendala mata hatiku. Dia berujar pelan bahwa dia ingin sekretarisnya menjadi istri keduanya, dan ia ingin aku mengijinkannya. Setelah mendengarnya mengatakan itu, aku langsung meninggalkannya, keluar dari restoran itu. Dia tidak berusaha mengejarku, dan memang aku tidak ingin dia mengejarku saat itu.
Aku pun beranjak dari sofa tempatku duduk, saat jam tua itu berdentang sangat keras sekali. aku mendekati suamiku, kubuka perlahan-lahan bajunya, aku lepaskan jas kerjanya, aku buka pelan-pelan kancing kemejanya, aku tarik celana panjangnya dan aku lepas celana dalamnya. Aku tersenyum melihatnya telanjang, aku lempar pisau penuh darah di tanganku tepat di samping suamiku tergeletak. Aku pun kembali duduk di sofa. Aku bertanya-tanya di dalam hati. Apakah semua kekayaan ini yang membuat cinta timbul atas nama pengkhianatan? Apakah semua kemewahan ini memanjakan nafsu menerbitkan pengkhianatan? Ataukah cinta memang sudah hilang tergantikan nafsu?
Kusandarkan tubuhku di sofa, kupasrahkan semua berat tubuhku untuk ditopang sofa empuk ini.
“Andi, maafkan aku telah membunuhmu.”
“Tapi aku bingung kenapa aku membunuhmu.” Kataku lirih melihat andi dari sofa
Aku sangat lelah, tubuhku capek sama capeknya dengan pikiran dan perasaanku.
“aku tahu kau berselingkuh, aku tahu kau memilih sekretarismu sebagai selingkuhanmu.”
“tapi aku tidak mau tahu apakah kau memilihnya atas nama cinta atau nafsu.” Kataku lirih, aku bangkit dari sofa, dan duduk di dekat suamiku. Kubelai rambutnya yang hitam. Lalu aku rebahkan kepalaku tepat didadanya yang penuh dengan darah. Kubelai tubuhnya, kuusap-usap darah yang mencuat di dadanya. Kubiarkan pipi dan tanganku berlumuran darahnya. Di antara aku dan dia ada pisau berlumuran darah yang menjadi saksi pembunuhanku atas nama pengkhianatan cinta. Kemudian aku tertidur menunggu pagi. Menunggu pagi membawa kemana arah nasibku selanjutnya.